Powered by Blogger.

Pages - Menu

Blog Posts

Wednesday, October 31, 2012

SI PEMBUAT ONAR

Joni geram sekali kepada Endro dan Sigit, teman satu kelasnya. Kedua anak ini sangat nakal dan seringkali berbuat onar di kelas. Mereka sering meminta uang dengan paksa, menyontek saat ulangan dengan disertai ancaman. Semakin hari kelakuan mereka semakin keterlaluan, karena tidak seorangpun dikelas yang berani menegur mereka. Suatu hari, kedua anak ini katauan oleh Guru sedang memeras uang saku seorang teman perempuan. Keduanya dihukum menyikat kamar mandi dan WC sekolah. Kemudian Guru menyuruh kedua orang tua Endro dan Sigit untuk datang kesekolah besok paginya. Kemudian dengan kejadian ini mereka berdua jera dan tidak mau berbuat nakal lagi kepada teman-temannya. Biasanya di setiap sekolah ada satu atau dua anak yang berkelakuan kurang baik sepeerti Endro dan Sigit, dan tidak ada seorangpun yang berani menegur dan melaporkannya kepada guru disekolah. Apakah disekolahmu ada anak-anak yang seperti ini? Terus apa yang harus kita pernuat, ya??? Firman Tuhan berkata bahwa setiap orang yang berbuat jahat pasti mendapat ganjarannya, karena mata Tuhan memperhatikan perbuatan setiap orang. Yang harus kita lakukan adalah mendoakan supaya mereka berubah. Tuhan lebih tahu cara yang terbaik untuk membuat anak-anak yang nakal bisa jera dan berubah menjadi anak-anak yang baik. Kamu juga bisa mengajak teman-temanmu untuk berdoa bersama-sama. Jika kamu melihat perbuatan mereka jahat, tegurlah dalam kasih. Jika perbuatan mereka sudah keterlaluan, jangan ragu untuk melaporkan kepada Guru atau orang tuamu. Sungguh orang jahat tidak akan luput dari hukuman, tetapi keturunan orang benar akan diselamatkan. Amsal 11:21
Lanjutkan - SI PEMBUAT ONAR

Monday, October 29, 2012

TIDAK SELAMANYA KATOLIK ITU “MENJAMIN” (Suara dari Sanggau)

19 Oktober sekitar jal. 23.30 wib, saya bersama kontingen OMK Keuskupan Agung Samarinda (KASRI) mendarat dengan selamat di bandara Supadio Pontianak setelah mengalami delay sekitar 3 jam di bandara Soekarno Hatta Jakarta dikarenakan ada pesawat Lion Air yang tergelincir di bandara Supadio Pontianak. Dari bandara kami disambut oleh panitia IYD 2012 Sanggau (Indonesian Youth Day) Pontianak dan langsung menuju Gedung pertemuan yang tidak jauh dari bandara Supadio sebagai tempat registrasi pertama dan pertemuan awal seluruh kontingen dari setiap keuskupan di Indonesia. Sekitar 30 menit melepaskan penat, bertemu dan registrasi dalam euforia darah dan semangat anak muda, perjalanan kembali kami lakukan menuju Sanggau dan selanjutnya menuju paroki Hati Kudus Yesus Rawak tempat kontingen OMK Kasri melaksanakan live in sebagai proses awal IYD. Perjalanan yang cukup melelahkan di tengah gulita dan ruas-ruas jalan yang rusak parah menjadi “santapan” rohani tersendiri buat kami kontingen OMK Kasri yang datang di IYD Sanggau dengan membawa tema; “Menyelamatkan Bumi, Hidup Hijau” sebagai langkah awal mengajak teman-teman OMK seluruh Indonesia sebagai 100 0/0 Katolik yang mewujud dalam kepedulian dan penyelamatan Lingkungan Hidup sebagai Indonesi 100 0/0. Perjalanan yang melelahkan menuai keprihatinan ketika mentari pagi menyapa sisi-sisi kehidupan kota Sanggau yang penuh ditumbuhi kelapa sawit. Pemandangan gundul membingkai tanah-tanah adat, dan rumput-rumput gersang menjadi pengganti rimbanya hutan Kalimantan berabad-abad silam. Perjalanan panjang diiringi letih yang membahagiakan di tengah duka alam, mengantarkan kami di pelataran Paroki Hati Kudus Yesus Rawak sekitar pkl. 11.00 wita siang. Setibanya di Rawak, kami disambut oleh dengan penuh cinta keakraban oleh umat, OMK Paroki Rawak dan para Pastor yang diawali dengan penyambutan secara adat yang dilanjutkan dengan santap siang bersama serta perkenalan. Pertemuan awal yang sangat membahagiakan karena keakraban langsung terbangun di antara kami OMK Kasri dan OMK Paroki Rawak serta Paroki Nanga Mahap. Keakraban kemudian kami lanjutkan pada malam harinya dalam doa rosario bersama umat di tiga kring (Kring Rawak Hulu, Kring Pasar dan Kring Rawak Hilir) yang menyambut kami dalam suasana keakraban penuh persaudaraan yang tak pernah terlupakan. Di ketiga kring setelah doa rosario ditemani minuman tuak khas Dayak Kalbar, kami berkisah tentang hidup sebagai masyarakat adat Dayak yang kini kedaulatannya semakin tergusur oleh perkebunan kelapa sawit berskala besar yang memecah belah orang Dayak dan merebut lahan serta tanah mereka atas nama uang dan kekuasaan. Keprihatinan lahir ketika suara-suara kisah itu berkata; kami tidak punya kekuatan menghadapi kekuatan dan kekuasaan kaum penguasa dan kapitalis yang nota bene adalah Katolik juga. Sukacita diselimuti keprihatinan kembali kami alami ketika berada di tuju stasi Paroki Rawak tempat kami melaksanakan live in. Masalah dan keprihatinan berhubungan dengan keserakahan penguasa dan pengusaha kepala sawit berskala besar yang menyerobot lahan masyarakat adat secara paksa, hingga masalah pendidikan dan diskriminasi HAM seperti di stasi Tebilang Mangkang yang merupakan kelompok masyarakat Adat Dayak harus menerima perlakuan diskriminatif karena PLN tidak masuk ke wilayah mereka meski tiang-tiang PLN sudah ada, namun ada syarat, pihak warga harus membayar biaya PLN kepada pihak perusahaan kelapa sawit. Kenyataan ini memperihatinkan karena terjadi perselingkuhan antara penguasa dengan perusahaan karena CSR yang sejatinya untuk masyarakat justru sebagai upeti bagi penguasa yang telah membangun konspirasi PLN bisa masuk ke wilayah Tebilang Mangkang kalau masyarakat bersedia membayar biaya PLN kepada pihak perusahaan. Belum lagi satu keprihatinan terobati, duka kembali kami jumpai ketika banyak hukum dan aturan adat semakin lama semakin hilang terbawa arus perkembangan zaman. Berhadapan dengan situasi duka di tengah masyarakat adat Dayak Kalbar yang kami jumpai di wilayah paroki Rawak, suara kami tak letih untuk menyampaikan pesan pertobatan; bangkit dan berjuang mempertahankan tanah adat, bangkit dan berjuang menghidupkan aturan dan hukum adat sabagi senjata menjaga dan melindungi hutan, tanah dan air menuju kelestariannya. Hingga di ruang pertemuan bupati kabupaten Sekadau yang disi oleh kontingen Kasri, Keuskupan Bandung dan Manado suara perlawanan dan pesan kepedulian kusampaikan pada bapak bupati Sekadau yang adalah seorang Katolik agar bersama Gereja dan masyarakat adat membangun konsolidasi penyelamatan kedaulatan masyarakat adat Dayak atas tanah, air dan hutan dengan mulai menghidupkan kembali hukum dan aturan adat dan menunjukan keberpihakan pada masyarakat adat. Berhadapan dengan kerpihatinan ini; aku ingat akan sebuah ajaran Katolik; “Di Luar Gereja Katolik, tidak keselamatan”. Betul dan benar ketika ajaran ini untuk memperkuat iman kekatolikan, tetapi ketika mewujud dalam tindakan nyata, bagaimana keselamatan yang hanya ada di dalam Gereja diperkosa oleh oknum-oknum penguasa Katolik yang berselingkuh dengan kapitalis untuk menghancurkan tata keselamatan di tengah masyarakat adat Dayak yang tidak lagi memiliki kedaulatan atas tanah, air dan hutan. Kenyataan keprihatinan yang kami alami dan temukan di tengah masyarakat adat Dayak Kalbar yang diperkosa oleh tangan-tangan tak beradab termasuk oknum penguasa Katolik menyadarkan saya; TIDAK SELAMANYA SEORANG PENGUASA YANG BERAGAMA KATOLIK MENJAMIN AKAN MENJADI PEMBAWA KESELAMATAN KETIKA UANG DAN KEKUASAAN MENJADI TUJUAN KEKUASANNYA... demikian sepenggal suara kami OMK Kasri dari Sanggau yang datang ke Sanggau dengan membawa tema Penyelamatan Bumi, Hidup Hijau. Salam Hijau dari Sanggau
Lanjutkan - TIDAK SELAMANYA KATOLIK ITU “MENJAMIN” (Suara dari Sanggau)

Thursday, October 4, 2012

JALAN MENUJU PERDAMAIAN ITU KEJAM: TAPI JANGAN MUNDUR !!

Jalan menuju perdamaian itu kejam, mungkin itu yang bisa mewakili perasaan saya dengan teman-teman pergerakan. Sms-sms teror, penolakan resmi dari pejabat kecamatan dan desa serta “p engadilan” dari sekelompok masyarakat yang langsung menunding kami sebagai provokator, curiga dan pengintaian gerak gerik seperti sudah menjadi rekan seperjalanan menyertai perjalanan kami setiap kali nurani menuntun kami untuk masuk membawa segelas kedamaian menjenguk ruang-ruang hati masyarakat adat yang sedang kalut dalam cekam ketakutan akan kehilangan tanah adat mereka oleh tangan-tangan rakus. Bahkan tidak ragu menuntutku untuk melepaskan jubah imamatku jika tidak sanggup lagi dari pada memperovokasi masyarakat atas nama gerakan perdamaian dan keadilan bersama masyarakat adat demikian, suara itu menudingku dihadapan Hirarki Gereja Lokal. Kutanggapi dengan jiwa besar meski tangisan jiwaku berteriak menantang dan menentang suara tuding kemunafikan mereka bahwa bukan karena imamatku, kuhadir berjuang dan bergerak bersama masyarakat adat demi damai di tanah mereka, tapi karena kedamaian adalah nilai tertinggi dari peziarahan umat manusia. Dalam keluarga atau komunitas dan Gereja sekalipun kita alami. Menjadi pembawa perdamaian yang dengan tegas menolak praktek kekerasan psikis, praktek kroni, praktek ketidakadilan di dalam keluarga, komunitas dan Gereja berarti harus siap menghadapi penolakan dan penyingiran dari sekelompok oknum dan siap menerima setumpuk surat isu negatip dalam hidup kita. Kesalehan doa dan ketekunan mengikuti misa tidak menjamin semua insan yang menamakan diri Katolik menjadi sosok merpati yang membawa ketulusan melainkan malah lebih banyak yang menjadi “serigala” di dalam keluarga, komunitas dan Gerejanya. Itu adalah kenyataan dan tidak bisa dihindari apalagi ditolak namun kita tidak perlu mundur apalagi terlambat untuk menjadi pelaksana dan pembawa perdamaian bukan sekedar kata dan bukan sekedar doa karena Yesus sendiri bersabda; Pergilah, sesungguhnya Aku mengutus kamu seperti anak domba ke tengah-tengah serigala (Luk 10:3). Serigala itu begitu dekat dan bahkan rekan sepeziarahan iman kita yang setiap saat bisa memangsa kita lewat isu berbisa gosip, lewat keegoisan beracun yang menuding bahkan menyingkirkan jiwa tulus insan yang datang membawa kedamaian dan perdamaian bagi jiwa-jiwa dan manusia. Seringkali karena kejamnya jalan perdamaian harus berhadapan dengan “serigala-serigala saleh” dalam keluarga, komunitas dan Gereja membuat kita takut, mundur bahkan parahnya lagi kita menjadi manusia paling terlambat untuk hadir membawa perdamaian bahkan merasa cukup dengan doa, sedang di luar sana sudah banyak korban yang tercerai berai. Doa menjadi kekuataan bagi kita pembawa perdamaian dan mohon kekuatan dariNya untuk umatNya, namun harus diingat bahwa jangan sampai satu untai doa kita belum selesai, sudah sepuluh jiwa manusia yang menjadi korban keegoisan dan kesombongan oleh karena menjadi serigala bagi jiwa manusia yang lain. Jalan meretas perdamaian menjadi pembawa dan pelaksana perdamaian harus diakui melewati kejamnya kehidupan karena kita memang harus berhadapan dengan “serigala-serigala saleh” Tapi untuk itulah kita diutus seperti Yesus mengutus ke-72 muridNya berdua-dua untuk membawa dan menghadirkan kedamaian agar menyertai jiwa manusia ke seluruh penjuru dunia. Memang kejam jalan mewartakan dan melaksanakan perdamaian, namun JANGAN MUNDUR, karena jika mundur atau terlambat maka geliat Sodom dan Gomora dalam keluarga, komunitas, masyarakat dan Gereja yang sudah mulai nampak akan menjadi semakin nyata bahwa sejatinya kita memang menghendaki keluarga, komunitas, masyarakat dan Gereja kita menjadi Sodom dan Gomora oleh karena keegoisan dan rasa takut kita untuk menjadi pelaksana Perdamaian hari ini. JALAN MENUJU PERDAMAIAN ITU KEJAM: TAPI JANGAN MUNDUR !! Karena St. Fransiskus telah menunjukan dan mengajarkan teladan kepada kita sebagai Utusan Kristus membawa dan melaksanakan perdamaia. Salam Geliat Nurani Kemanusiaan di bisingnya Jl. Jend. Sudirman PW. St. Fransiskus dari Asisi Lie Jelivan msf
Lanjutkan - JALAN MENUJU PERDAMAIAN ITU KEJAM: TAPI JANGAN MUNDUR !!

Tuesday, October 2, 2012

PEREMPUAN ITU DI TERAS GEREJAKU

Di teras gerejaku duduk perempuan setengah baya, tertunduk dan membiarkan rambutnya yang terurai menutupi wajahnya. Hiruk pikuk anak-anak yang bermain di halam gereja seakan tidak dihiraukan. Ia diam dalam kesibukan fikirannya ditopang kedua tanganya yang menyangga dakunya sambil menutup roman wajahnya. Sementara butiran air matanya jatuh satu-satu membasahi teras gerejaku persis di depan tempat mendudukan raganya. Pakaiannya lusuh, tubuhnya kurus seakan sedang menyimpan segudang duka mengharu biru sukmanya. Sapaan setiap insan, kaumnya seakan tak didengarnya. Ia diam dalam bisu ditengah hiruk pikuk jalanan memecah keheningan jalan A. Yani alamat gerejaku. Aku kaget saat menatapnya ketika kuhendak mengambil motorku yang kuparkir di sudut gerejaku. Nurani seakan menegurku untuk bertamu padanya. Namun akalku seakan menundaku untuk tak menyapanya. Semakin akalku menggodaku, semakin kuat suara kalbuku mengajak dan menuntunku untuk mampir di hadapannya. Langkahku tak bisa kuhentikan, kidung dukanya seakan merasuk bilik jiwaku untuk mendatanginya. Kumatikan mesin motorku, kuletakan helm di atas jok motorku dan kumelangkah menjenguk ruang jiwanya yang sedang berkabung. Saat tepat di depannya, aku menyapa lembut; bu...bu.... Suara sapaku seakan menyapa kekosongan ruangan dan hanya gema suaraku yang kudengarkan. Kusapa lagi...bu...bu...aku pastor Kopong...Perlahan ia membua tanganya yang sejak tadi menutup rupanya kusut dan menganga auranya yang bengkak oleh tangisan dukanya di teras gerejaku. Ia lalu memandangku, meski riak-riak kecil tangisannya masih kudengar, suara sesenggukan menyesakan rongga dadanya masih menggema di ruang jiwanya. Ia memandangku sambil menyapa tanpa suara sukacita, lembut halus ditengah bising jalanan...iya...pastor...uangkapnya. Kubertanya padanya penuh empati, bu maukah kita bicara di ruang tamu pastoran? Dia memandangku dan mengganggukan kepala tanda setuju. Berdua berjalan menuju ruang tamu pastoran, dan kuambilkan segelas air putih kuberikan kepadanya untuk memberikan kekuatan atas dahaga jiwa yang letih oleh duka. Setelah kurasakan situasinya cukup tenang, kubertanya bu...mengapa ibu menangis dan sepertinya ibu sedang mengalami duka yang dalam. Iya pastor demikian jawabnya dalam isak. Perempuan di teras gerejaku yang kini sedang berhadapan roman denganku di ruang tamu pastoran berkisah dalam ratap pilu, pastor sudah dua kali aku dilecehkan oleh bapak mantuku sendiri, payudaraku diremas. Ketika kusampaikan kepada suamiku, suamiku tidak ada respon bahkan bersama keluarganya menunduh aku memfitnah. Beberapa kali aku ditelp oleh bapak mantuku untuk melakukan hubungan layaknya suami istri namun selalu kutolak, sayang hpku tidak bisa untuk merekam suarany sehingga aku tidak punya bukti kuat. Tertunduk malu bagai ditampar oleh ibuku sendiri yang hadir dalam litani duka perempuan di gerejaku itu. Malu atas kaumku yang memandang perempuan di gerejaku itu sebagai panggung melepaskan nafsu birahi dan tanpa pernah berpikir, rahim perempuan di teras gerejaku itu adalah kehidupan yang melahirkan kehidupan. Aku semakin sakit, ketika nada-nada tragedi di balik suara sendunya berkata; sudah dua hari ini aku tidur di toko tempat aku bekerja karena aku takut pulang diperlakukan tidak benar oleh bapak mantuku yang telah kuanggap sebagai bapakku sendiri. Kini aku datang di teras gerejaku ini, kutangisi diriku, kuratapi hidupku sambil berdoa, semoga tidak ada lagi noda menodai kaumku...tidak ada lagi tangan buaya yang mencakar penuh nafsu di tubuh kaumku. Lantaran tubuh kaumku adalah nyanyia pujian pada Sang Khalik seperti Magnificat sang Bunda Gereja. Perempuan itu di teras gerejaku...dalam sendu meratap duka menitipkan satu pesan; bertobatlah dan ukirlah bulan Rosario ini dengan meneladan Bunda Maria dan Santo Yoseph yang menghargai raga kaum perempuan sebagai kidung pujian bersama Kidung Maria pada Sang Pencipta. Setelah kuterima pesan, di teras gerejaku, perempuan itu menyampaikan salam pisah besok baru disambung lagi...Selamat Merenung.... Ketenangan Groto Gang Musafir Banjarbaru Berziarah bersama Bunda Maria, 03 Oktober 2012 Lie Jelivan msf
Lanjutkan - PEREMPUAN ITU DI TERAS GEREJAKU