Powered by Blogger.

Pages - Menu

Sunday, August 26, 2012

ANTARA ETIKA DAN PROFESIONALITAS

(GUGATAN NURANI ATAS KERJA MEDIS RUMAH SAKIT KATOLIK)



Sebenarnya, saya tidak lagi mengusik ketenangan jiwa ade Maria Lena setelah kepergiaannya menanggapi panggilan abadi sang pencipta. Namun hatiku tergeli
tik setelah mencermati kinerja medis di rumah sakit Katolik yang merawatnya, yang jauh dari etika dan profesionalitas medis. Hingga kepergiaannya semua orang tidak tahu apa yang menjadi penyebab pembengkakan kakinya, dokterpun bingung, apalagi kami awam biasa yang menyerahkan seluruhnya kepada kealihan para medis meski ada kelemahan.

Sekitar dua minggu ia terbaring di rumah sakit. Setiap hari diperiksa, namun tak kunjung juga ditemukan diagnosa yang tepat dari dua orang dokter ahli beda dan penyakit dalam yang merawatnya. Sehingga pada akhirnya salah seorang dokter mengatakan dengan santai; sebaiknya rawat jalan saja, toh dia sehat dan kuat dari pada biayanya tambah mahal. Soal biaya, memang keluarga tak mampu, tapi yang dibutuhkan adalah sebuah kepastian dan bukannya anjuran rawat jalan. Nyatanya toh, biayanya memang mahal. Mengapa dari awal tidak diberitahukan dengan jujur bahwa kami (medis) tidak mampu menolongnya. Ade Maria Lenapun akhirnya keluar dalam ketidakpastian, apa yang menyebabkan pembengkakan kakinya hingga Sang Pencipta menjemputnya.

Setelah keluar, dan terus melakukan kontrol, salah satu dokter terus menjanjikan untuk dilakukan operasi. Ada satu harapan bahwa bisa dioperasi di Samarinda. Maka dilakukanla biopsi atas sakit kaki ade Maria Lena. Telinga kami masih normal, waktu itu baik dokter dan perawat yang melakukan biopsi mengatakan, hasilnya akan dikirim ke Surabaya dan paling lama menunggu hasil dari Surabaya sekitar dua (2) Minggu. Kamipun dengan sabar menanti. Selang beberapa hari, belum genap dua minggu, sang dokter yang melakukan biopsi itu menlphon kakak ade Maria Lena dan menanyakan; apakah hasil biopsi sudah diterima? Sang kakak, termasuk saya jelas kaget. Kami sedang menunggu pak dokter, katanya masih menunggu dari Surabaya, ungkap sang kakak. Loh...hasilnya itu sudah dua hari yang lalu sudah keluar, jawab sang dokter. Kami kembali kaget. Ternyata biopis ade Lena hanya dilakukan di Lab yang ada di Samarinda di jalan Rajawali. Akhirnya sang kakak segera meluncur ke rumah sakit itu dan menemui dokter yang satunya. Dokter yang satunyapun menanyakan hal yang sama. Dan meminta kami untuk mengambil hasilnya di OKA. Sang kakak langsung menuju ke OKA. Sesampai di OKA, sang kakak meminta hasil biopsi, namun pihak perawat OKA mengatakan hasil biopsi ade Mari Lena sudah diambil oleh keluarga ade Maria Lena. Kami semua kaget. Kami mencoba menghubungi seluruh keluarga namun menurut pengakuan semuanya, tidak pernah menerima hasil biopsi ade Lena. Sang kakak, menemui salah seorang perawat OKA, dan perawat itu menjawab oh ini ada kesalapahaman, namun tidak menjelaskan kesalapahaman itu. Sang kakakpun meminta hasil biopsi yang asli pada perawat itu, untuk melihat tandatangan siapa yang tertera pada lembar hasil biopsi. Namun tidak diberikan. Malah ditawarkan untuk diberikan foto copian. Sang kakak yang tidak ingin memperpanjang masalah, akhirnya mengiyakan menerima copian hasil biopsi yang mana tandatangan tersebut agak kabur sehingga tidak bisa mencocokan tanda tangan siapa itu yang sebenarnya. Setelah mendapatkan copian hasil biopsi ade Lena, sang kakakpun menanyakan kepada dokter yang melakukan biopsi itu; apa hasil biopsi dan penyebab sakit ade Lena, namun sang dokter tidak menjelaskan tapi perawat yang menjelaskan melalui telphon bahwa ade Lena mengalami pembengkakan sakit tanpa pernah mengetahui penyebab sesungguhnya.

Sang dokter yang selama ini melakukan pemeriksaan di rumah sakit dan selama kontrol kemudian menjanjikan pelaksanaan operasi kaki ade Lena pada tanggal 04 Juni 2012. Ada sebuah harapan, meski biayanya mahal, namun paling tidak ada tindakan medis yang dilakukan pada ade Lena. Ade Lena senang mendengar kabar itu tanpa perlu diamputasi. Namun menjelang hari H, sang dokter membatalkan dengan alasan sangat beresiko dengan berbagai alasan, kalaupun dilakukan operasi pasti akan dilakukan tidak hanya sekali, tetapi 2-4 kali operasi, dan juga peralatan tidak ada, dan mengusulkan agar ke Surabaya karena peralatannya lengkap namun juga bisa beresiko pada amputasi. Menyadari situasi bahwa di Surabayapun tidak ada keluarga dan tentu biayanya sangat mahal, dan ketakutan yang sangat besar dalam diri ade Lena jika kakinya diamputasi, maka dengan keputusan ade Lena dan didukung keluarga, keluarga memutuskan agar dilakukan pengobatan secara tradisional sambil terus melakukan kontrol media.

Pada saat melakukan kontrol kembali sang dokter itu mengatakan, kalau begitu saya akan meinta dokter yang satunya untuk memberikan obat yang mengeluarkan cairan dari kaki ade Lena. Namun dokter yang satunya itu menjawab dengan santai sambil tertawa; PERCUMA, SAYA BERIKAN OBAT UNTUK MENGELUARKAN CAIRAN, NANTI KELUAR SEMUA CAIRAN, BADAN ADEMU JADI KURUS. Dan ade Lenapun akhirnya tidak mendapatkan tindakan medis sebagaimana yang dianjurkan oleh dokter yang menjanjikan memberikan obat tadi. Aneh dan sangat tidak etis, dihadapan pasien, sang dokter mengatakan; “PERCUMA”. Bahasa percuma menunjukan ketidaketisan dan ketidakprofesionalan medis dalam melakukan tindakan medis. Karena bagaimanapun sang dokter dan para medis memilik tindakan-tindakan alternatif dalam sebuah tindakan medis. Sebagai seorang medis yang bekerja di Rumah Sakit Katolik, tentu tahu etika medis dalam moral dan etika Kristiani.

Dari cara kerja medis di Rumah Sakit Katolik, yang hampir sebagian besar mengeluh atas besarnya biaya pengobatan, saya hanya berpikiran negatip; apakah karena kita miskin, sehingga kita dibuat bingung oleh dua orang dokter di rumah sakit Katolik tersebut atas ketidakjelasan yang diberikan. Namun serentak saya menghapus pikiran negatipku ini dengan berargumen; bahwa ternyata dua orang dokter dan beberapa pewarat di OKA sangat tidak etis dan profesional dalam bekerja melakukan tindakan medis. Artinya jika memang tidak mampu melakukan tindakan medis, adalah dengan JUJUR MENGAKUI bahwa tidak mampu melakukan tindakan medis dengan memberikan penjelasan yang dapat dipertanggungjawabkan tanpa harus memberikan harapan-harapan yang membingungkan dan menggelisahkan.

Pertanyaan lebih lanjut; mengapa pihak keluarga meminta melihat hasil biopis ade Lena yang asli, tapi tidak mau diberikan atau tidak mau menunjukan tandatangan itu. Pihak keluarga punya hak atas itu. Dan mengapa bukan dokter yang melakukan tindakan medis selama ini yang memberikan penjelasan, tapi malah perawat yang memberikan penjelasan? Dari ketidaketisan dan ketidakprofesionalan medis menangangi tindakan medis ade Lena, kepergiaan ade Lena tetap menjadi misteri dari apa yang menjadi penyebab utama pembengkakan kakinya. Kini ade Lena telah berbahagia di surga namun misteri itu masih penyakitnya masih menjadi sebuah misteri. Semoga pihak medis di rumah sakit Katolik tersebut bekerja secara etis dan profesional agar banyak jiwa yang terselematkan, meskipun meninggal dunia, paling tidak sang pasien bisa mengetahui lebih jelas apa penyebab sakitnya dan lebih penting lagi pihak medis tidak usah malu mengakui kelemahan dan ketidakmampuannya, tetapi dengan JUJUR MENGAKUI KETIDAKMAMPUANNYA agar pasien tidak menaruh harapan hampa dalam hidupnya. Semoga.

Roti Yang Hidup: Adalah Hidup dalam kejujuran
Minggu di jalan A. Yani: 26 Agustus 2012
Lie Jelivan msf

No comments:

Post a Comment