Monday, September 3, 2012
KETIKA KEBENARAN ITU MENYAKITKAN
Malam minggu, di tengah acara resepsi pernikahan, kucoba menyalami dia, namun dengan “kasar” menolak salaman itu dan langsung mengatakan; gak usah...sekarang kita musuhan. Awalnya kukira itu hanya candaan, dan kucoba sekali lagi namun tanggapan yang sama harus kuterima. Akupun mencoba untuk pergi darinya dan lebur dalam kisah bersama yang lain. Saat mau pulang, aku pamitan dan juga dengannya, namun tanggapan yang sama tetap kuterima. Ada rasa malu karena dihadapan banyak orang diperlakukan demikian. Jujur bahwa yang selama ini kuanggap sebagai saudara-saudari ternyata pada gilirannya bersikap menolak demikian hanya karena sebuah catatan sebelumnya “Antara etika dan profesionalitas” (Gugatatan nurani atas kinerja medis) yang mungkin baginya membuat dia tersinggung dan menyakiti hatinya. Aku memahami itu, namun bukan maksud saya untuk melukai, namun lebih dari itu adalah demi sebuah nilai kebenaran itu sendiri.
Pengalaman yang sama juga; ketika sebuah catatan tentang “Tangisan Duka Gereja Tuaku” menyeruak di ruang Dunia Maya ini yang pada gilirannya melahirkan dendam pada yang merasa tersinggung oleh guratan usang dari sebuah hati yang menangis melihat mentalitas sosok berjubah merayakan pesta ultah karya misi tarekatnya di hotel berbintang. Kusapa, namun jawaban yang kudapatkan adalah diam tanpa bersuara. Tak ada dendam, tak ada benci. Bagiku ini adalah resiko dan konsekwensi atas sebuah kebenaran.
Pengalaman yang hampir mirip, juga dialami oleh seorang ibu yang mengijinkan saya untuk menuliskan kisahnya dalam renungan ini. Met malam Romo,saya ingin berbagi kisah untuk semua sahabat,semoga Romo Lie berkenan memberikan permenungan dari kisah yang saya alami dan sedang saya alami saat ini. Saudara ipar yang beberaap tahun lalu bekerja dengan suami saya. Dalam sebuah usaha harus ada yang namanya pembukuan yang harus dilakukan,namun tidak disangka beliau tidak menyukai hal itu dan beliaupun mengundurkan diri yang pada kakak ipar saya ternyata manyimpan dendam dan benci yg mendalam terhadap kami terutama kepada saya, bahkan anak-anak kami ikut menjadi korban. Setelah merayakan Paskah kami berkumpul di makam mertua saya,disitu beliau memaki-maki saya dengan kata-kata yang tidak layak diucapkan bahkan beliau ingin memukul dan menendang saya,tapi di situ saya hanya bisa berkata; ampunilah dia ya Tuhan. Peristiwa itu terulang lagi Minggu yg lalu,ketika tak sengaja saya bertemu beliau di rumah kaka ipar saya yang lain. Dia mencaci maki saya lagi dan bahkan saya dilempar dengan kunci motornya,kembali lagi saya hanya mampu berucap; ampunilah dia ya Tuhan, yang saya ingin sampaikan betapa sedihnya dan pilunya tidak tau apa penyebabnya sehingga semua ini harus terjadi, namun saya berharap semoga saya tetap memiliki hati yang memaafkan, dan sampai saya mengingat keluarga kandung saya mereka semua adalah Muslim tapi mereka tidak pernah membabi buta ketika kondisi tidak suka,tapi beliau ini adalah orang Katolik namun mengapa hatinya sungguh keras seperti batu?
Dari pengalaman sederhana ini; Kebenaran itu ternyata menyakitkan; ketika kebenaran itu membongkar kenyamanan dan rasa aman orang lain termasuk penguasa yang bersembunyi di balik kursi empuk kenyamanan dan kekuasaannya. Bahkan karena kebenaran itu; adanya penolakan bahkan ada yang harus dikorbankan sekalipun nyawa. Dan itu terjadi di negeri anta branta Republik yang disebut Indonesia ini, atau di dalam keluarga, masyarakat maupun lembaga-lembaga agamis yang dinodai oleh oknum yang tidak menyukai kebenaran. Kebenaran itu juga menyakitkan karena harus menghadapi resiko didendam, dicaci, dibenci dan bahkan ditolak meski saudara-saudari seiman dan sebangsa sendiri sebagaimana yang dialami oleh Yesus sendiri (Luk 4:24). Meski kebenaran itu menyakitkan, namun jika kebenaran itu adalah demi kebaikan bersama sebagai Kabar Sukacita bagi mereka yang tidak pernah mengalami kebenaran dan keadilan, maka apapun resikonya akan menghasilkan buah melimpah: keadilan, sukacita dan kedamaian. Meski menyakitkan...JANGAN BERHENTI MENJADI PEMBAWA KABAR SUKACITA KEBENARAN membongkar bongkah-bongkah kebohongan keluarga, masyarakat, para penguasa dan lembaga-lembaga agamis yang dinodai oknum-oknum yang bertopeng kenyamanan dan mencari rasa aman bagi diri sendiri dan kelompoknya.
Kebenaran menyakitkan, tapi itulah Kemuridan kita
PW. St. Gregorius Agung (Paus & Pujangga Gereja)
Lie Jelivan msf
Labels:
04.09.2012
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment